Tumpeng sudah tak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, dinobatkan sebagai ikon kuliner Indonesia pada tahun 2012 oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu sebagai simbol keanekaragaman masyarakat Indonesia.Hampir dalam setiap perayaan seperti syukuran, ulang tahun, acara peresmian dan lainnya selalu ada tumpeng yang hadir sebagai bintang utamanya. Meski tak setiap hari dan sembarang acara ada namun tumpeng menjadi makanan istimewa yang ditunggu saat perayaan tertentu.
Tapi tahukah kamu lur? Tumpeng memiliki makna mendalam dalam kehidupan orang jawa. Merujuk pada artikel terbitan Akademi Tata Boga Bandung “Makna Tumpeng Dalam Kehidupan Manusia Jawa (2021) “, tumpeng memiliki kepanjangan “Tumapaking penguripan- tumindak lempeng manuju Pangeran” , artinya berkiblatlah kepada pemikiran bahwa manusia itu harus hidup menuju jalan Allah. Tumpeng telah hadir jauh sebelum masa kemerdekaan bangsa Indonesia dahulu masyarakat jawa mempercayai bahwa ada kekuatan gaib diluar diri manusia yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Oleh karena itu diperlukan pemeliharaan hubungan dengan kekuatan tersebut untuk menjaga kesimbangan dengan kehidupan masyarakat dengan mengadakan tumpengan, untuk memberikan sesaji kepada para dewa dewi yang dipercaya mendiami gunung Mahameru. Inilah mengapa bentuk tumpeng mengerucut melambangkan agungnya gunung Mahameru.
Lebih lanjut tumpeng yang ada kini memiliki filosofi yang bergeser, bukan lagi untuk persembahan kepada dewa- dewi melainkan bentuk keragaman masyarakat yang satu menuju satu pusat yaitu Allah SWT. pergeseran filosofi ini tak lepas dari peran Sunan Kalijaga yang menginisiasinya dari akulturasi budaya Hindu dan Islam. Dijelaskan oleh Cak Nun, spiritualis sekaligus budayawan Jawa, bahwa dulu tumpeng dimulai dari kebijakan Sunan Kalijaga, bermula dari sebuah perayaan besar di suatu pusat kota yang dirayakan oleh beberapa agama di suatu daerah.
Dahulu para pemeluk agama hindu gemar mengadakan ambengan sebuah acara makan dan kumpul bersama (srawung) bersama dengan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga yang pada masa itu menjadi salah satu tokoh penyebar agama islam, beliau mengamini kegiatan tersebut denga pelan pelan mengurangi hal - hal yang kurang baik dan mempertahankan hal- hal yang baik dalam prosesi ambengan. Untuk melengkapi tumpeng Sunan Kalijaga menyarankan untuk menambahkan beragam jajan pasar dalam sajian tumpeng, ini merupakan lambang beraneka ragam lapisan masyarakat menjadi satu.
Beliau juga memerintahkan untuk menambahkan 3 macam bunga yang memiliki arti masing- masing, yaitu bunga mawar yang melambangkan bunga perwakilan dari seluruh bunga yang ada di taman, beragam corak beragam profesi. Kemudian bunga kenanga “keno ngene, keno ngono” yang dalam bahasa Indonesia berarti “boleh seperti ini, dan boleh seperti itu” merujuk pada perbedaan kepercayaan yang ada di masyarakat, entah Muhammadiyah, NU, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan lainnya. Dan bunga Kantil yang merujuk pada melekatnya pada suatu hal, artinya seluruh masyarakat yang saling melekat tidak bermusuhan, tidak bertengkar dan tidak terpisahkan, yang terpenting adalah hati yang sama sama melekat menuju pada Tuhan YME. Menghindari sifat sombong, iri dan dengki agar bisa selaras berjalan beriringan dengan damai.
Diharapkan melalui tumpengan, masyarakat tetap terjaga kedamaian antar sesamanya, saling beriringan hidup gotongroyong. Sunan Kalijaga berhasil menggeser filososofi tumpeng menjadi sarat makna pengajaran agama yang mencintai kedamaian dan kerukunan. Hingga kini tumpeng masih menjadi simbol kesatuan kepada Tuhan YME disetiap acara yang diselenggarakan masyarakat khususnya di Jawa dan di Indonesia pada umumnya.