Lawang Sewu merupakan bangunan terkenal di Semarang yang jadi objek wisata favorit baik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Dibalik Arsitekturnya yang megah dan mengagumkan, bangunan ini punya sejarah panjang dan kelam di zaman penjajahan.
Nama Lawang Sewu berasal dari bahasa Jawa yang artinya "Pintu Seribu". Julukan ini diberikan karena bangunannya memiliki banyak pintu dan jendela.
Lawang sewu dikenal karena bangunannya megah khas kolonial Belanda. Meski namanya Lawang Sewu, namun jumlah pintu sebenarnya hanya 928 pintu, dilansir dari laman Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Dibangun pada tahun 1904, sebagai bangunan perkantoran yang menjadi pusat komunikasi dan transportasi di Jawa pada masa penjajahan Belanda.
Pada tahun 1942, Jepang mengambil alih Lawang Sewu dan menjadikannya sebagai kantor Riyuku Sokyoku atau jawatan transportasi Jepang.
Hingga bangunan tersebut berubah menjadi penjara bawah tanah dan tempat penyiksaan untuk tahanan pada masa penjajahan Jepang. PT KAI mengkonfirmasi bahwa bawah tanah tersebut awalnya difungsikan sebagai sistem drainase dan pendingin agar gedung tetap sejuk, hingga kemudian pihak Jepang mengubahnya sebagian untuk tempat eksekusi tahanan.
Ruang bawah tanah tersebutlah yang menjadikan Lawang Sewu dikenal mistis.
Lawang Sewu juga menjadi saksi bisu jejak pertumpahan darah saat pertempuran lima hari di Semarang. Setelah Jepang berhasil menduduki Hindia Belanda, tentara Jepang menjadikan Lawang Sewu dan ruang bawah tanah menjadi penjara untuk eksekusi mati atau tempat penyiksaan bagi tahanan perang.
Banyak tentara Indonesia yang gugur dalam pertempuran lima hari di semarang akibat kekejaman Jepang.
Peristiwa bersejarah tersebut terjadi pada tahun 1945, antara Angkatan Pemuda Kereta Api (APKA) melawan tentara Jepang.
Dalam masa perang tersebut peristiwa paling berdarah terjadi di Lawang Sewu. Gedung megah tersebut berubah menjadi tempat mencekam di mana para pemuda yang ikut dalam pertempuran terjebak dan pihak Jepang berhasil mengepung dari segala arah.
Setelah lima hari berjuang, bantuan datang dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan pemuda Yogyakarta. Jepang akhirnya mundur. Tentara Indonesia kemudian berhasil mengambil alih kompleks bangunan tersebut dan dioperasikan oleh Djawatan Kereta Republik Indonesia.
Pada tahun 2009, Lawang Sewu direnovasi dan dijadikan sebagai museum serta galeri sejarah perkeretaapian oleh Unit Pusat Pelestarian dan Desain Arsitektur.Upaya renovasi tersebut berada di bawah kendali anak perusahaan PT KAI, yaitu KAI Wisata.